Wednesday, 22 January 2014

Cara Mengungkapkan Perasaan Terhadap Cewe Dengan Romantis

Tips/Cara Mengungkapkan Perasaan Terhadap CeweCara paling romantis untuk nembak cewek atau wanita idaman anda tentu saja adalah secara langsung. Karena kalau kita nembak cewek lewat sms atau telpon mungkin bagi kebanyakan cewek justru dianggap tidak gentle. Memang tidak mudah bagi seorang cowok untuk menyatakan cinta kepada cewek idamannya, terlebih kalau anda termasuk cowok yang pemalu. Nah cara nembak cewek supaya mau jadi pacar dibawah ini mungkin bisa kamu praktekkan. Sebelumnya kamu juga harus membaca tentang Cara Menarik Perhatian Wanita.Semoga saja dengan cara ini ungkapan cinta romantis kamu langsung diterima sama si cewek gebetan. Nah berikut kiat-kiat cara nembak cewek.
Cara Mengungkapkan Perasaan Terhadap Cewek dengan Romantis:
      1.   Kuatkan Mental
Ini adalah persiapan diri pertama yang harus kamu lakukan. Kamu harus yakin inilah saat yang tepat untuk menyatakan rasa cinta kamu pada si cewek. Dan kamu juga harus siap mental dengan jawaban apapun yang bakal cewek itu berikan saat kamu nembak dia. Artinya kamu tidak hanya siap jika si cewek akan berkata IYA, tapi kamu juga harus kuat bila si cewek ternyata berkata TIDAK.


2. Gunakan Kata-Kata Romantis
Romantis bukan berarti kamu harus lebay dan terlalu berlebihan. Kalau kamu bingung mau berkata apa, mungkin kamu sebaiknya to the point saja nembak si dia dengan kata-kata cinta seperti ini, “sebenarnya aku menyimpan rasa cinta sama kamu. jangan tanya kenapa aku menyukaimu, karena aku gak punya alasan. perasaanku ini tulus, tapi aku juga tau kalau aku gak bisa egois untuk memaksamu mencintaiku. aku cuma ingin kamu tau perasaanku ini, jadi fikirkanlah baik-baik sebelum kamu putuskan, kutunggu jawabanmu YA atau TIDAK".

3. Tempat dan Suasana Romantis
Pemilihan tempat paling romantis dimana kamu akan menyatakan cinta atau nembak cewek juga perlu direncanakan. Mall, restoran atau pantai adalah beberapa pilihan tempat yang bisa kamu jadikan tempat untuk nembak cewek kamu. Sedangkan suasana romantis bisa kamu ciptakan dengan mengajak si cewek ngobrol tentang topik yang dia sukai, biasanya cewek akan bersemangat kalau mengetahui ternyata sang cowok punya hobi atau kesukaan yang sama dengan dia.

4. Berikan Sesuatu Yang Berkesan
yaitu beri sesuatu yang berkesan. Saat jadian dengan seorang cewek atau pun cowok pasti akan selalu dikenang dan diingat oleh setiap orang. Nah usahakan momen jadian seperti ini kamu tandai dengan memberikan bunga atau kado spesial lainnya untuk si cewek. Ada ungkapan klasik yang selalu dilakukan oleh banyak orang sampai saat ini yaitu “Katakanlah dengan bunga”.

5. Sabar dan Berdoa
Jangan memaksa si dia untuk menjawab pada saat itu juga. Tidak semua cewek bisa langsung menjawab saat seorang cowok menyatakan cinta padanya. Berikan dia waktu untuk berpikir dan memutuskan jawaban atas ungkapan rasa cinta yang telah kamu sampaikan. Nah sementara itu, berdoalah pada Tuhan Yang Maha Kuasa semoga si cewek besok akan memberikan jawaban IYA untuk kamu.

Itulah Cara Mengungkapkan Perasaan Terhadap Cewe Dengan Romantis, silahkan dicoba yah, dan semoga berhasil dan diterima.

Tips Cara Merawat Baterai Blackberry Agar Awet

Cara Merawat Baterai BlackBerry -- Blackberry di Indonesia lebih terkenal karena peran publik figur. Dari para seleb ini, BlackBerry yang memiliki fitur BBM ( BlackBerry Messenger ) ini dengan nomor PIN-nya ini terkenal ke masyarakat luar. Sehingga muncul kesan bahwa pemilik BlackBerry lebih elite dibandingkan Smartphone lainya. Nah, bagi Anda yang sudah pernah menggunakan BlackBerry atau yang berkeinginan  memiliki smartphone tersebut, biasanya kendala terbesar dari BlackBerry  adalah pada masalah Baterai. Sebab, Baterai BlackBerry sangat terkenal dengan keborosannya dan rentan akan kerusakan. Tapi, kendala tersebut sebenarnya dapat kita atasi jika kita mengetahui Cara Merawat Baterai BlackBerry
 
Berikut ini adalah Cara Merawat Baterai BlackBerry yang bisa Anda terapkan ke smartphone Anda. 
  1. Jika Anda ingin mengisi ulang baterai BlackBerry Anda, sebaiknya posisikan Smartphone Anda pada posisi Mati atau pada posisi kondisi Off.
  2. Segeralah Anda mencabut charge BlackBerry jika Baterai BlackBerry sudah terisi penuh. Sebab jika terlalu lama atau berlebihan, Baterai BlackBerry akan mudah ngedrop.
  3. Hindari pengisian mobil terlalu sering karena arus aki mobil tidak sestabil listrik. Gunakan jika Anda ada posisi terdesak saja.
  4. Jangan paksakan penggunaan BlackBerry jika kondisi baterainya sudah pada keadaan lemah ( tanda merah pada logo baterai ).
  5. Waktu mengisi / mencharge ulang baterai BlackBerry, usahakan suhu ruangan pada kondisi normal, tidak terlalu panah dan tidak terlalu dingin.
  6. Jangan sering membuka baterai BlackBerry hanya untuk menggonta-ganti kartu SIM  karena Baterai BlackBerry akan mudah ngedrop.
  7. Untuk menghemat Baterai BlackBerry, usahakan matikan Wifi dan Bluetooth jika sudah tidak terpakai / digunakan.
  8. Jangan terlalu sering browsing dengan BlackBerry, sebab baterai BlackBerry akan mudah panas.
  9. Jangan membeli Baterai BlackBerry yang Non Original, Karena bisa menyebabkan Handset anda sering restart bahkan mati total.
  10. Jangan mengisi ulang baterai BlackBerry dengan Charger yang bukan untuk BlackBerry. Karena Port BlackBerry sama dengan Port milik samsung Champ.
  11. Jangan sering cabut pasang charger karena akan merusak port pada BlackBerry dan baterai smartphone ini.
  12. Lepas Baterai BlackBerry jika tidak digunakan untuk waktu yang lama.
Nah itulah Cara Merawat Baterai BlackBerry, Semoga cara ini / tips ini bisa bermanfaat untuk pengguna BlackBerry yang ingin menghemat dan merawat Baterai BlackBerrynya. Sekian dari saya semoga bermanfaat.

Tips Cara Merawat Blackberry Agar Tidak Lemot

Tips Cara Merawat Blackberry Agar Tidak Lemot


 Tips Cara Merawat Blackberry Agar Tidak Lemot - Merawat Smartphone Blackberry memang sangat penting sekali untuk menjaga kestabilan kinerjanya atau bahkan meningkat jika perlu. Smartphone Blackberry pada saat ini merupakan smartphone yang paling di gemari oleh banyak orang khususnya orang Indonesia. Jika penggunaan yang berlebiha dan Tanpa perawatan akan membuat Smartphone Blackberrypastinya akan banyak masalah seperti misalnya loading lama dan lemot.

Banyak cara merawat blackberry agar tidak lemot dan mengganggu aktifitas kita pada saat menggunakan. Pada postingan sebelumnya saya sudah memberikan cara agar baterai blackberry awet, dan pada kesempatan postingan kali ini saya mau memberikan tips cara merawat blackberry agar tidak lemot. Tips yang saya posting kali ini merupakan pengalaman pribadi saya dan share dari beberpa sumber yang saya terima.

Berikut ini beberapa Tips Cara Merawat Blackberry Agar Tidak Lemot :

1. Setiap 2-3 hari sekali biasanya baterai blackberry saya lepas dan diamkan beberapa menit, kemudian saya pasang kembali. Dengan cara ini akan melakukan reebot saat baterai blackberry di pasang kembali. Trik seperti ini berguna unutk menghapus sisa file yang sudah tidak terpakai saat sedang chat BBM atau Group termasuk browsing.
2. Biasanya banyak aplikasi dan theme menarik yang di instal dan terpasang pada blackberry. Saya sarankan sebaiknya pilihlah aplikasi dan theme yang kita rasa penting saja. Jika banyak aplikasi yang terpasang bisa membuat blackberry kita menjadi lemot dan dampaknya pada baterai blackberry cepat habis.
3. Cara yang berikut ini mungkin banyak pemilik blackberry sudah pada tau, yaitu clear log setiap beberapa hari sekali agar file-file pada log Blackberry bersih shingga smartphone blackberry kita tidak lemot. Kita bisa lakukan dengan cara menekan ALT > LG LG. Dan juga dapat melakukan Cleaning Memory secara rutin dengan cara menekan Options > Security Options > Memory Cleaning > dan statusnya buat Enable. Cara tersebut berguna untuk mengoptimasi memory (RAM).
4. Setiap 2-3 hari sekali biasakan melakukan Host Routing Table. Cara ini bisa dilakaukan dengan cara pilih Options > Advance Options > Host Routing Table > Tombol Logo Blackberry > Register Now. Selain itu cara lain yang termasuk penting yaitu melakukan Diagnostic Test yang dapat dilakukan seminggu sekali dengan cara memilih Options > Mobile Network > Tombol Logo Blackberry > RUN dan tunggu sampai proses selesai. Cara ini berguna untuk memastikan apakah smartphone Blackberry kita terkoneksi semua, baik PIN, Regieter, maupun koneksi Email yang bisa dilihat melalui layar.
5. Biasakan refresh Blackberry dengan cara menekan ALT + CAPS + DEL atau kita bisa juga menggunakan aplikasi Quickpull agar dapat restart otomatis dan terjadwal. Cara tersebut berguna untuk menormalkan kinerja smartphone Blackberry yang kita pakai.
6. Sebaiknya kita tidak sembarangan menerima permintaan untuk join Group Blackberry atau membatasi Group Blackberry. Pengalaman saya saat Group sedang ramai chat Blackberry langsung lemot. Jadi bergabunglah ke Group Blackberry yang kita rasa penting.
Itulah tips cara merawat blackberry agar tidak lemot yang saya berikan, semoga bermanfaat bagi pembaca dan kita semua khususnya yang memakai Smartphone Blackberry.

CHEAT PS2 GTA SAN ANDREAS TERBARU 2014

GTA SAN ANDREAS




Manusia 1/2 dewa
bawah, X, kanan, kiri, kanan, R1, kanan, bawah, atas, segitiga
Uang, darah, tameng
R1, R2, L1, X, kiri, bawah, kanan, atas, kiri, bawah, kanan, atas
Lompat tinggi
atas, atas, segitiga, segitiga, atas, atas, kiri, kanan, kotak, R2, R2
Pukulan maut
atas, kiri, X, segitiga, R1, bulat, bulat, bulat, L2
Bernafas dalam air
bawah, kiri, L1, bawah, bawah, R2, bawah, L2, bawah
Senjata 1
R1, R2, L1, R2, kiri, bawah, kanan, atas, kiri, bawah, kanan, atas
Senjata 2
R1, R2, L1, R2, kiri, bawah, kanan, atas, kiri, bawah, bawah, kiri
Senjata 3
R1, R2, L1, R2, kiri, bawah, kanan, atas, kiri , bawah, bawah, bawah
Dua senjata
bawah, kotak, X, kiri, R1, R2, kiri, bawah, bawah, L1, L1, L1
Peluru tak terbatas
L1, R1, kotak, R1, kiri, R2, R1, kiri, kotak, bawah, L1, L1
Rekrut
bawah, kotak, atas, R2, R2, atas, kanan, kanan, atas
Bunuh diri
kanan, L2, bawah, R1, kiri, kiri, R1, L1, L2, L1
Kurus
segitiga, atas ,atas, kiri, kanan, kotak, bulat, kanan
Gendut
segitiga, atas ,atas, kiri, kanan, kotak, bulat, bawah
Kekar
segitiga, atas, atas, kiri, kanan, kotak, bulat, kiri
Dikelilingi pelacur
kotak, kanan, kotak, kotak, L2, X, segitiga, X, segitiga
Suasana pantai
atas, atas, bawah, bawah, kotak, bulat, L1, R1, segitiga, bawah
Badut
segitiga, segitiga, L1, kotak, kotak, bulat, kotak, bawah, bulat
Elvis
L1, bulat, segitiga, L1, L1, kotak, L2, atas, bawah, kiri
Yakuza
X, X, bawah, R2, L2, bulat, R1, bulat, kotak
Nascar 1
bawah, R1, bulat, L2, L2, X, R1, L1, kiri, kiri
Nascar 2
R1, bulat, R2, kanan, L1, L2, X, X, kotak, R1
Nascar 3
R2, L1, bulat, kanan, L1, R1, kanan, atas, bulat, R2
Mobil golf
bulat, L1, atas, R1, L2, X, R1, L1, bulat, X
Buldoser
R2, L1, L1, kanan, kanan, atas, atas, X, L1, kiri
Mobil sherif
atas, kanan, kanan, L1, kanan, atas, kotak, L2
Mobil orang kaya
R2, atas, L2, kiri, kiri, R1, L1, bulat, kanan
Tanker
R1, atas, kiri, kanan, R2, atas, kanan, kotak, kanan, L2, L1, L1
Mobil romero
bawah, R2, bawah, R1, L2, kiri, R1, L1, kiri, kanan
Truk sampah
bulat, R1, bulat, R1, kiri, kiri, R1, L1, bulat, kanan
Motor roda empat
kiri, kiri, bawah, bawah, atas, atas, kotak, bulat, segitiga, R1, R2
Boat amphibi
segitiga, segitiga, kotak, bulat, X, L1, L2, bawah, bawah
Mobil monster
kanan, atas, R1, R1, R1, bawah, segitiga, segitiga, X, bulat, L1, L1
Tank
bulat, bulat, L1, bulat, bulat, bulat, L1, L2, R1, segitiga, bulat, segitiga
Helikopter tempur
bulat, X, L1, bulat, bulat, L1, bulat, R1, R2, L2, L1, L1
Pesawat jet
segitiga, segitiga, kotak, bulat, X, L1, L1, bawah, atas
Pesawat stunt
bulat, atas, L1, L2, bawah, R1, L1, L1, kiri, kiri, X, segitiga
Parasut
kiri, kanan, L1, L2, R1, R2, R2, atas, bawah, kanan, L1
Jetpack
kiri, kanan, L1, L2, R1, R2, atas, bawah, kiri, kanan
Semua mobil berwarna hitam
bulat, L2, atas, R1, kiri, X, R1, L1, kiri, bulat
Semua mobil berwarna pink
bulat, L1, bawah, L2, kiri, X, R1, L1, kanan, bulat
Semua mobil jadi jelek
L2, kanan, L1, atas, X, L1, L2, R2, R1, L1, L1, L1
Semua mobil jadi mewah
kanan, R1, atas, L2, L2, kiri, R1, L1, R1, R1
Semua mobil desa
L1, L1, R1, R1, L2, L1, R2, bawah, kiri, atas
Semua mobil transparan
segitiga, L1, segitiga, R2, kotak, L1, L1
Semua kendaraan hancur
R2, L2, R1, L1, L2, R2, kotak, segitiga, bulat, segitiga, L2, L1
Nos
kiri, segitiga, R1, L1, atas, kotak, segitiga, bawah, bulat, L2, L1, L1
Mobil kebal
L1, L2, L2, atas, bawah, bawah, atas, R1, R2, R2
Mobil melambung
kotak, R2, bawah, bawah, kiri, bawah, kiri, kiri, L2, X
Mobil terbang
kotak, bawah, L2, atas, L1, bulat, atas, x, kiri
Mobil berjalan di atas air
kanan, R2, bulat, R1, L2, kotak, R1, R2
Boat terbang
R2, bulat, atas, L1, kanan, R1, kanan, atas, kotak, segitiga
Sepeda lompat tinggi
segitiga, kotak, bulat, bulat, kotak, bulat, bulat, L1, L2, L2, R1, R2
Bintang enam
bulat, kanan, bulat, kanan, kiri, kotak, X bawah
Mengurangi wanted level
R1, R1, bulat, R2, atas, bawah, atas, bawah, atas, bawah
Menaikkan wanted level
R1, R1, bulat, R2, kanan, kiri, kanan, kiri, kanan, kiri
Kunci polisi
bulat, kanan, bulat, kanan, kiri, kotak, segitiga, atas
Pengemudi agresif
kanan, R2, atas, atas, R2, bulat, kotak, R2, L1, kanan, bawah, L1
Trafik agresif
R2, bulat, R1, L2, kiri R1, L1, R2, L2
Rambu lalu lintas hijau
kanan, R1, atas, L2, L2, kiri, R1, L1, R1, R1
Waktu berjalan cepat
bulat, bulat, L1, kotak, L1, kotak, kotak, kotak, L1, segitiga, bulat, segitiga
Gerakan cepat
segitiga, atas, kanan, bawah, L2, L1, kotak
Gerakan lambat
segitiga, atas, kanan, bawah, kotak, R2, R1
Membidik sambil mengemudi
atas, atas, kotak, L2, kanan, x, R1, bawah, R2, bulat
Skill mengemudi maksimum
kotak, L2, X, R1, L2, L2, kiri, R1, kanan, L1, L1, L1
Respek maksimum
L1, R1, segitiga, bawah, R2, X, L1, atas, L2, L2, L1, L1
Pagi
R2, X, L1, L1, L2, L2, L2, kotak
Malam
R2, X, L1, L1, L2, L2, L2, segitiga
Selalu tengah malam
kotak, L1, R1, kanan, X, atas, L1, kiri, kiri
Geng berkuasa
L2, atas, R1, R1, kiri, R1, R1, R2, kanan, bawah
Nyepi
X, bawah, atas, R2, bawah, segitiga, L1, segitiga, kiri
Penduduk menyerang
bawah, atas, atas, atas, X, R2, R1, L2, L2
Penduduk bersenjata
R2, R1, X, segitiga, X, segitiga, atas, bawah
Badai pasir
atas, bawah, L1, L1, L2, L2, L1, L2, R1, R2
Kabut
R2, X, L1, L1, L2, L2, L2, X
Cuaca cerah
R2, x, L1, L1, L2, L2, L2, kotak
Hujan badai
R2, X, L1, L1, L2, L2, L2, bulat
Kiamat
L2, kanan, L1, segitiga, kanan, kanan, R1, L1, kanan, L1, L1, L1

Cheat PS2 Guitar Hero II




-Masukkan kode di menu utama
-Gunakan stik analog PS2 untuk memasukkan kodenya
-Tahan "kiri" sambil memasukkan kodenya


Gitar udara
segitiga, segitiga, X, kotak, segitiga, X


Penonton berkepala mata
X, kotak, segitiga, kotak, segitiga, kotak, X


Penonton berkepala monyet
kotak, X, segitiga, segitiga, kotak, X, segitiga, segitiga


Penonton berkepala api
kotak, segitiga, kotak, kotak, segitiga, kotak, segitiga, segitiga


Penonton berkepala kuda
X, kotak, kotak, X, kotak, kotak, X, kotak, kotak, X


Hiper speed
kotak, X, kotak, segitiga, kotak, X, kotak, segitiga

Dewa gitar
segitiga, segitiga, X, segitiga, segitiga, kotak, segitiga, segitiga


Membuka semuanya
X, segitiga, kotak, bulat, kotak, segitiga, bulat, segitiga, bulat, segitiga, bulat, segitiga, bulat, segitiga


Kepala Api Main Gitar : segitiga, kotak, kotak, segitiga, segitiga, kotak ,kotak.
Berulangkali.

Perkembangan Islam


Perkembangan Islam


      1. Hubungan Dagang Indonesia dengan Asia Barat dan Asia Selatan.
Perdagangan melalui jalur laut antara asia Timur dengan Asia Barat telah melibatkan Indonesia terjun kedalam kegiatan perdagangan Internasional. Peranan Indonesia dalam hubungan dagang dengan Asia Barat dan Asia Selatan sangat besar, antara lain sebagai berikut:
a. Sebagai lalu lintas Perdagangan.
letak geografis Indonesia sejak awal Masehi telah dipandang mempunyai peranan yang strategis. Perairan Indonesia menghubungkan pelayaran internasional,yaitu menghubungkan pelayaran antara asia Timur, Asia selatan dan eropa. Posisi yang demikian membawa masyarakat Indonesia terlibat dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan Internasional.
b. Sebagai Penyedia Barang Dagangan ( Komoditi )
Indonesia yang beriklim tropis, sejak lama dikenal sebagai daerah subur penghasil barang dagangan yang dibutuhkan masyarakat dunia seperti beras, lada, rempah-rempah dan emas.
c. Sebagai Pelaku dalam kegiatan Perdagangan.
Didikung adanya kemampuan berlayar dan membuat kapal besar, masyarakat Indonesia banyak yg membawa barang dagangan sendiri ke Malaka, India dan China.
d. Sebagai Pengguna barang Dagangan ( Konsumen )
Orang Indonesia yang jumlah banyak merupakan konsumen barang dagangan yang potensial. Bagi orang asing, Indonesia merupakan pasar yang cukup menjanjikan bagi barang dagangan mereka. barang yang kita beli dari bangsa lain antara lain kain dan porselen.
       2. Hubungan Indonesia dengan Para Pedagang.
Para pedagang dari asia Selatan yang besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Islam di Indonesia adalah para pedagang dari Gujarat. Pada abad ke- 12 - 15 bandar Malaka merupakan pusat perdagangan yang penting artinya, sebab para pedagang menggunakan arah angin sebagai penggerak kapal, karena itu Malaka dijadikan Bandar transit.
Rempah-rempah dari Maluku diangkut ke barat dari pelabuhan-pelabuhan pesisir Jawa, pantai timur Sumatra dan terus ke Malaka. Dari Malaka pengangkutan diteruskan ke India oleh para pedagang Gujarat atau orang indonesia yang memiliki kemampuan berlayar sampai India. Dari India diteruskan ke eropa melalui teluk Oman dan teluk Persia. Oleh karena itu para pedagang Arab, Persia, dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur berhubungan dengan pedagang Indonesia.
Hubungan dagang itu kemudian berkembang menjadi hubungan budaya dan penyebaran agama Islam oleh para pedagang Gujarat, Persia dan Arab kepada pedagang Indonesia.
     3. Agama Islam yang masuk ke Indonesia dengan mudah dapat diterima rakyat hal ini disebabkan karena faktor-faktor sebagai berikut.
Faktor Intern:
Islam bersifat terbuka sehingga penyebaran agama Islam dapat dilakukan oleh siapa saja asalkan dia muslim; Penyebaran Islam dilakukan dengan jalan relatif damai (tanpa melalui kekerasan) disesuaikan dengan keadaan; Islam tidak membedakan kedudukan seseorang dalam masyarakat, Islam tidak mengenal kasta sehingga setiap orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai Hamba Allah; Upacara-upacara dalam agama Islam dilakukan dengan lebih sederhana dibanding upacara keagamaan masa Hindu; Syarat untuk masuk Islam sangatlah mudah yaitu dengan mengucapkan kalimat syahadat; Ajaran Islam berupaya untuk menciptakan kesejahteraan kehidupan masyarakat, dengan adanya kewajiban Zakat bagi yang mampu.
Faktor Ekstern
Agama Islam dapat dijalankan dimanapun sebab disetiap daerah terdapat tempat ibadah, sehingga tidak seperti ketika mereka memeluk agama Hindu dan Budha mereka hanya bisa melakukan kegiatan keagamaan di kampung mereka; Para pedagang Muslim yang datang ke Indonesia tampak seperti orang kaya sehingga memunculkan adanya anggapan bahwa perdagangan penduduk pribumi akan berhasil jika mereka menganut agama para saudagar muslim tersebut; Orang Indonesia melihat bahwa Islam merupakan kekuatan spiritual dan militer mereka. Para pedagang Islam yang datang ke Indonesia biasanya membawa berbagai senjata sebagai alat untuk menjaga keamanan mereka selama diperjalanan. Orang Indonesia melihat itu sebagai sesuatu yang sanagat hebat dan berarti kekuatan orang Islam itu tinggi; Adanya konflik politik internal di kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, hal ini menyebabkan kontrol yang kurang baik antara pusat dan daerah di sekitar pesisir. Sehingga ketika para pedagang muslim datang ke dan mendukung mereka maka mereka berusaha melepaskan diri dari keadaan yang tidak menyenangkan tersebut bahkan melepaskan diri dari kerajaan tersebut; Bangsa Indonesaia memiliki sifat yang terbuka, ramah, kekeluargaan sehingga mudah menerima budaya asing yang masuk termasuk masuknya Islam di Indonesia; Adanya perkawinan yang dilakukan oleh pedagang Islam dengan wanita pribumi memberi pengaruh yang besar dalam penyebaran Islam.**

 Peninggalan sejarah Islam
1) Masjid Banten (bangun beratap tumpang)
(2) Masjid Demak (dibangun para wali)
(3) Masjid Kudus (memiliki menara yang bangun dasarnya serupa meru)
(4) Masjid Keraton Surakarta, Yogyakarta, Cirebon (beratap tumpang)
(5) Masjid Agung Pondok Tinggi (beratap tumpang)
(6) Masjid tua di Kotawaringin, Kalimantan Tengah (dibangun ulama penyebar siar pertama di Kalteng)
(7) Masjid Raya Aceh, Masjid Raya Deli (dibangun zaman Sultan Iskandar Muda)

(1) Makam Sunan Langkat (di halaman dalam masjid Azisi, Langkat)
(2) Makam Walisongo
(3) Makam Imogiri (Yogyakarta)
(4) Makam Raja Gowa






Monday, 20 January 2014

Kumpulan Cerpen ( cerita pendek ) Terbaru 2014

Artikel kali ini membahas tentang berbagai macam kumpulan cerpen ( cerita pendek ) ,, semoga bermanfaat bagi kalian semua...maaf bila ada kata-kata yg kurang nanti-nya.



Batu Domino yang Beradu


Lebih baik jadi kuli di negeri sendiri.
Setelah segalanya seperti menyusut ke dalam gelap, dan menghadirkan bintik-bintik cahaya lampu, serupa ratusan bintang yang terapung di sepanjang pelabuhan, di sinilah surga mereka. Di mana lagi, selain kedai kopi tempat mereka kembali, tempat (seolah) mereka menemukan sebuah keluarga. Surga dapat dibangun di mana saja, dan dihuni oleh siapa saja, pikir mereka.

Keluarga adalah surga. Keduanya ada saat kita membuatnya ada. Dan mereka selalu merasa menemukan keduanya. Tak ada yang benar-benar merasa kehilangan, saat batu-batu domino mulai beradu. Kehilangan adalah cerita lain, yang sengaja diasingkan. Ia tak boleh hadir saat kesulitan-kesulitan hidup bagai mendesak dalam setiap detik waktu yang berjalan setiap hari. Mereka kuli. Kesadaran sebagai kuli harus ditanamkan dalam-dalam, supaya tak berkesempatan perasaan-perasaan busuk singgah dan menggoda mereka untuk melakukan hal-hal yang buruk. Seorang kuli bukan seorang pencuri. Ini harus diyakini. Meski terkadang banyak mata yang memosisikannnya tak terlalu jauh berbeda. Tapi mereka tak ingin mengerti. Sebab tak cukup waktu untuk memahami dan mengerti tentang status, tentang kedudukan. Mereka merasa sebutan kuli sudah cukup memberi kepercayaan diri bagi mereka, dan itu lebih baik daripada seorang gelandangan atau pengangguran.

Lalu apa yang membuat status kuli menjadi tidak baik? Tidak ada. Ini negeri kuli. Di setiap sudut kota, di kampung-kampung, di mana pun, kuli jadi penghuni. Tidak percaya? Ribuan kuli di negeri jiran adalah akibat dari kemelimpahan kuli di negeri ini. Dan mereka, yang malam ini duduk membanting batu-batu domino di atas meja kedai kopi, tidak memilih jadi kuli di negeri orang. "Lebih baik jadi kuli di negeri sendiri," umpat mereka, saat seorang kawan membawa oleh-oleh berupa bekas sabetan rotan yang menggaris di punggungnya. Mereka seolah tak hirau pada sejumlah kawan lain yang dengan semangat membara bersusah payah untuk bisa ikut menjadi kuli di negeri orang. Mereka hanya mencibir, "kalian tak malu jadi kuli di negeri orang?" Dan mereka pasti akan menutup telinga saat kawan-kawannya menjawab, "tak ada bedanya jadi kuli di negeri sendiri."

Dan malam, selalu jatuh tepat di pundak sungai ini, seperti seorang tua berjubah hitam, menyungkup kedinginan. Dan mereka, satu-satu datang, seperti bersepakat untuk bertemu, berkumpul di kedai kopi. Inilah saat pesta domino digelar. Membanting angka-angka keberuntungan. Teh telor, kopi ginseng, hemaviton, ekstrajoss, bir bintang, topi miring, ciu, kti, dan segala jenis minuman beralkohol adalah hidangan sebagai taruhan ringan. Dan percakapan adalah lintasan-lintasan pikiran yang tak jernih. Tak ada peristiwa yang selesai diperbincangkan dari mulut yang bau tuak. Mereka mengucapkan pukimak, pantek, tai, asu, dan sejenisnya, sebagai patahan-patahan emosi yang tak serius. Omong kosong, kebuntuan, ledakan, cemeeh, semua tak terencanakan. Yang tak terbiasa, dan datang dengan kejernihan yang normal, hanya akan mengotori telinga dan pulang dengan wajah yang memucat, dan segera menyadari bahwa ia asing dan terlihat aneh di lingkungan mereka. Dan percakapan yang tak selesai, acapkali harus diakhiri dengan perkelahian. Inilah egoisme yang sering muncul dalam kehendak untuk menang yang tak terkontrol. Gigi patah, muka lebam, lengan koyak, kepala bocor, hidung meler, adalah hal yang tak terhindarkan. Polisi ada, tapi menganggapnya biasa. Ia menjadi tradisi. Tidak akan pernah ada yang kalah, sebab setiap mereka merasa telah menang. Dan selesai. Malam berikutnya adalah surga, adalah keluarga. Mereka kembali, seperti batu-batu domino yang tak bosan untuk beradu…

Mungkin hidup yang dulu telah membuang mereka. Kini mereka sedang berada dalam pilihan hidup yang harus terlihat wajar sebagai sebuah keputusan yang tak salah. Mereka sengaja membuang jauh ingatan lampau seperti seseorang yang membuang sauh ke dasar laut. Orang tua, kakak, adik, abang, saudara-mara, adalah wajah-wajah yang tak seharusnya hidup dalam ingatan mereka saat ini. Sebab kehadiran wajah-wajah itu hanya akan membuat kebebasan terkekang, dan hanya kembali menegaskan perasaan akan kehilangan dan kekalahan. Ini memuakkan. Sama memuakkannya dengan wajah kampung-kampung tempat kelahiran mereka. Kampung yang membuat penghuninya merasa terbuang, merasa tak diperhitungkan. Dan anak-anak yang terlahir dari sana adalah anak-anak yang menderita ketakutan akan masa depan. Anak-anak yang setiap subuh bertelanjang dada, bermain congkak di bawah asuhan beruk-beruk di hutan karet. Anak-anak yang gemar memanjat batang kelapa, melebihi tupai. Anak-anak yang tahan berendam dalam lumpur gambut di akar-akar bakau berburu ketam atau siput. Anak-anak yang tiba-tiba telah tumbuh menjadi seseorang yang telah siap dipekerjakan untuk menjadi kuli, menjadi anak buah tongkang berlayar gelap ke negeri orang. Dan yang memuakkan inilah, yang kini harus ditanggungkan. Maka tertawalah. Seperti seseorang yang baru saja menemukan dirinya sedang mencapai puncak kebahagiaan. Dan malam, adalah rumah tempat mereka melepas tawa, sebebas-bebasnya. Sebebas batu-batu domino yang beradu…

Dan tak ada satu malam pun yang luput. Hari-hari kehilangan nama-nama. Di tepian sungai, kedai kopi seperti mereguk malam demi malam, dan membiarkannya berlalu. Dan mereka adalah orang-orang yang juga dengan sengaja membiarkan segalanya berlalu. Hidup seorang kuli adalah hidup yang terbatas. Mereka tak terlalu berkeinginan untuk merespons sesuatu yang sedang bergerak di luar mereka. BBM, korupsi, asap hutan, demonstrasi, amuk massa, tawuran antarsuku, penculikan, pembunuhan, kemiskinan, dan segala macamnya sudah terlampau akrab dalam telinga mereka. Dan kini tak ada urusan, selain menghitung keberuntungan dari angka-angka di batu-batu domino. Urusan di luar diri mereka adalah urusan di dunia lain. Mencampurinya hanya akan membuat mereka tak bisa bebas berpikir tentang bagaimana memenangkan taruhan saat bermain domino. Dan tentu, tak bisa membuat mereka bebas tertawa.

Tapi, apakah segala urusan memang benar-benar berada di luar diri mereka?
Seperti halnya yang terjadi pada malam ini. Seorang perempuan muda dengan perut yang membuncit, tiba-tiba datang tergesa-gesa dan memukulkan botol bir di kepala seorang kuli. Tak ada kalimat yang pantas, selain maki-hamun yang keluar berdenging dari mulut perempuan itu. Semua kuli di kedai kopi, tentu terpaksa berhenti tertawa. Sebuah urusan telah datang, dan masuk ke dunia mereka. Salah seorang kuli kini telah bocor kepalanya. Dan apa yang harus dilakukan oleh yang lain untuk urusan pribadi semacam ini? Sementara perempuan itu terus meracau meminta pertanggungjawaban, sambil entah berapa botol air mata pula yang tumpah berserakan di lantai kedai kopi. Seorang kuli yang bocor kepalanya, tentu timbul rasa malu, rasa kesenangannya terganggu, rasa kelelakiannya, egoismenya, yang bercampur dan beradu. Lelaki itu lalu menghayunkan baku tinjunya yang sebesar balok kayu mahang ke wajah perempuan hamil itu. Dan ia pergi, seperti seorang koboi yang baru saja melepaskan sebutir peluru dari pistolnya. Perempuan itu terkapar. Sebuah urusan telah membuat kedai kopi ini mulai menjadi neraka. Keluarga adalah neraka?

Malam berikutnya, seorang lelaki separuh baya, berbadan besar, tidak berkumis, datang membawa setumpuk kertas bon dan membantingnya di tengah salah satu meja di kedai kopi. Ada apa? Pastilah hutang. Ini urusan yang tak seharusnya datang saat malam belum lengkap memberikan kebebasannya. Seorang kuli yang merasa berhutang, seperti tak mampu menyembunyikan wajahnya dari yang lain. Dan tentu saja ini cukup menegangkan. Sementara di meja yang lain, batu masih terus beradu, tapi tanpa suara lengking tawa. Lelaki berbadan besar itu menghardik, melemparkan telunjuk ratusan kali tepat ke wajah seorang kuli. Lelaki mana yang tak naik darah saat dipojokkan di tengah banyak orang. Tapi ia memang telah berhutang. Dan hutang itu memang telah berkeliling pinggang. Dan rasanya butuh kekurangajaran yang lebih untuk bisa membalas hardikan lelaki berbadan besar ini. Tapi mulutnya kian terkunci. Tak ada kalimat yang mampu membentenginya dari semburan lelaki berbadan besar ini, selain sebuah tusukan pisau kecil di perutnya yang buncit itu. Dan darah kembali tumpah. Kuli berhutang itu bergegas pergi, seperti seseorang yang sedang terlambat untuk sebuah janji. Kedai kopi ini mulai ditumpuki sejumlah urusan.

Siapa yang menyangka jika malam berikutnya, seorang lelaki yang juga berbadan besar dan berambut cepak datang bergegas dengan seorang anak lelaki berumur sepuluh tahun. Malam ini kedai kopi kembali ricuh. Lelaki cepak itu langsung berteriak, "Mana kuli yang telah merampas uangmu, mana dia, mana!" Lelaki kecil berumur sepuluh tahun langsung menunjuk seorang kuli yang duduk merokok di sudut kedai. Tidak ada basa-basi, sebuah tendangan telak mengenai dada lelaki kuli itu. Dan karena melihat lawan sudah tampak terkapar, lelaki cepak pergi dengan menggeret tangan lelaki kecil, pergi seperti seorang pahlawan yang baru saja menunjukkan kehebatannya. Tapi siapa yang menyangka, jika keesokan siangnya, telah ditemukan seorang mayat anak lelaki berumur sepuluh tahun tersangkut di tiang pelabuhan. Dan kematian telah mengakibatkan kedai kopi ini berurusan dengan banyak hal. Para kuli kini harus mulai mengatakan bahwa mereka memang tak bisa terlepas dari segala macam urusan.

Sesuatu yang tak terduga pasti terjadi setelahnya. Tengoklah, puluhan orang berbondong-bondong dengan sebilah parang di tangan mereka. Orang-orang ini menjelma sebagai makhluk-makhluk yang beringas, menabuh genderang perang. Dan beruntunglah jika para kuli masih sempat memperpanjang nyawa mereka dengan berlari ke segala arah, melepaskan diri dari serangan segala urusan di luar diri mereka, yang rupanya kini tanpa disadari telah menjarah dan merangsek ke dalam tubuh mereka. Orang-orang merasa tak puas, karena tak seorang kuli pun yang berhasil mereka cincang, dan membawa serpihan dagingnya pada anak-anak mereka di rumah sambil mengatakan, "Ini kan orangnya yang telah mengganggu hidup kalian?" Ketidakpuasan itu harus dituntaskan dengan sesuatu yang lain. "Bakar! Bakar kedai kopi terkutuk ini!"




Bulan terkapar di trotoar. Tubuhnya kotor dan ada bercak-bercak darah pada wajah serta lambung kirinya. Dan, lihatlah, kini ia menggeliat, mencoba untuk bangkit. Mula-mula ia mengangkat kepalanya dan melihat sekeliling. Lalu, memiringkan tubuhnya dan mencoba mengangkat badannya dengan menekankan kedua telapak tangannya ke trotoar. Tapi, usaha itu gagal, tubuhnya kembali rebah. "Ya Allah, apa yang telah terjadi denganku," gumamnya.

Bulan meraba tulang-tulang rusuknya. Ada rasa sangat nyeri di sana. Mungkin tulang-tulang rusuknya telah patah. Bulan meraba pinggangnya. Ada rasa sangat ngilu di situ. Mungkin tulang pinggulnya terkilir atau retak. Bulan meraba lambung kirinya. Ada rasa sangat pedih di situ, dan darah merembes menembus kaosnya. Bulan mengusap bercak-bercak darah pada hidung, pipi dan pelipisnya, lalu meraba kepalanya. Jilbabnya telah tiada, entah terlempar ke mana. "Seharusnya aku sudah mati…Tuhan menyelamatkanku," batinnya.

Bulan tidak tahu berapa jam ia pingsan. Ketika kesadarannya pulih, hari sudah larut malam. Bentrok antara aparat keamanan dan demonstran telah lama reda. Suasana jalan di depan kompleks gedung MPR pun sudah lengang. Ia yakin masih hidup ketika merasakan pada hampir semua bagian tubuhnya. Ia merasa ada keajaiban, kekuatan gaib, yang melindunginya: Tuhan. Jika tidak, ia pasti sudah mati dengan tubuh remuk diinjak-injak sepatu puluhan tentara dan ratusan mahasiswa.

Tapi, Bulan merasa malaikat maut belum pergi jauh darinya. Mahluk gaib itu masih mengintai dari balik kegelapan malam dan tiap saat siap mencabut nyawanya. Sebab, dalam dingin malam ia masih terkapar sendiri, tak berdaya di trotoar, tanpa ada yang menolongnya. Mungkin ia akan pingsan lagi, dan tidak akan tersadar lagi, karena langsung dijemput oleh malaikat maut dengan kereta kuda, untuk dihadapkan ke Tuhannya. Mungkin ia akan kehabisan darah dan tidak tertolong lagi.

Bulan meraba lagi lambung kirinya. Rembesan darah makin membasahkan kaosnya, bahkan terus menetes ke trotoar. "Mungkin lambungku tertembus peluru nyasar," pikirnya. "Ya Allah, kuatkanlah hamba...," gumamnya.

Bulan mencoba untuk bangkit lagi dengan sisa-sia tenaganya, tapi gagal lagi. Sudah tidak ada sisa tenaga lagi yang cukup hanya untuk mengangkat tubuhnya sendiri. Maka, yang dapat ia lakukan hanyalah berbaring pasrah dan menyerah pada Sang Nasib. Terlintas dalam pikiran, kenapa tidak ada yang menolongnya. Dinaikkan ke atas truk tentara dan dibawa ke rumah sakit, misalnya. Atau diangkut dengan ambulan PMI? Bukankah tadi banyak anak-anak PMI dan ada dua ambulan bersama mereka untuk siaga menolong para demonstran yang terluka?

"Di manakah kini mereka. Apakah aku dianggap sampah yang tidak perlu ditolong?" batinnya. "Ah, tidak. Tidak mungkin! Mungkin ambulan PMI dan truk tentara telah penuh, karena terlalu banyak demonstran yang terluka, dan aku sengaja dibaringkan di sini untuk dijemput nanti… Tapi, kenapa sampai begini larut belum juga ada yang menjemputku? Apakah mereka lupa dan tidak ada yang melihatku lagi, karena aku terbaring dengan pakaian hitam-hitam di tengah kegelapan malam?"
***
Ketika berangkat berdemonstari bersama kawan-kawan sekampusnya siang tadi Bulan memang sengaja memakai kaos lengan panjang dan celana hitam sebagai tanda berduka bagi bangsanya yang sedang dilanda krisis ekonomi. Ia pun ingin menyatakan duka sedalam-dalamnya karena kebebasan sudah mati di negerinya dan sudah 30 tahun rakyat ditindas oleh rezim yang otoriter, sehingga tiap ada kawan yang menyapanya "merdeka", ia selalu menjawab, "belum!"

Dan, pada demo mahasiswa yang menandai gelombang reformasi itu ia ingin menyatakan rasa dukanya secara total, sehingga lipstik yang ia pakai pun cokelat kehitaman, dengan jilbab hitam dan sepatu cat yang sengaja ia olesi dengan spidol hitam. "Tapi, kalau sekarang aku mati di sini, adakah yang akan berduka? Masih adakah orang yang akan peduli padaku?" batinnya.

Kenyataanya kini Bulan terkapar sendiri, sekarat, di trotoar, dan tidak ada seorang pun yang menolongnya. Ia heran, kenapa sampai selarut itu tidak ada yang melihat, menemukan, dan menolongnya. Padahal, masih ada satu dua orang pejalan kaki yang sekali-sekali melewati jalan beraspal tidak jauh dari tempatnya terbaring. Beberapa tentara juga masih tampak berjaga di pintu gerbang kompleks gedung bundar yang sedikit terbuka. Jalanan memang lengang, dan tidak ada satu pun kendaraan yang lewat, karena diblokade tentara. "Mustahil kalau tidak ada seorang pun yang melihatku terbaring di sini," pikirnya. "Jangan-jangan aku dianggap gelandangan yang sengaja tidur di sini, sehingga tidak perlu mereka usik?"

Bulan khawatir jangan-jangan orang-orang Jakarta memang sudah tidak memiliki kepedulian lagi pada nasib orang lain. Mereka egois, hanya suntuk pada urusan diri sendiri, dan ia menjadi korban ketidakpedulian itu. "Apakah tentara-tentara yang siaga di pintu gerbang itu juga tidak melihatku? Apakah semua orang telah menganggapku sebagai sampah yang pantas dibiarkan teronggok begitu saja di pinggir jalan, dan cukup diserahkan kepada petugas kebersihan untuk dilemparkan ke truk sampah?"

Bulan mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Dengan itulah dia ingin menolong dirinya sendiri. Jika orang lain sudah tidak peduli lagi padanya, maka dialah yang harus menolong dirinya sendiri. Begitu pikirnya. "Hidup ini keras, Bulan. Karena itu, kamu harus kuat, dan jangan sekali-kali hanya bergantung pada orang lain. Hanya kamulah yang dapat menolong hidupmu sendiri," kata ayahnya, dua tahun lalu, ketika ia pamit untuk berangkat kuliah di Jakarta.
***
Bulan kembali melihat sekeliling dengan sedikit mengangkat kepalanya. Dua orang tentara masih tampak berjaga-jaga di gerbang masuk kompleks gedung MPR yang dibuka sedikit dan hanya cukup untuk dilalui pejalan kaki. Tampak beberapa aktivis berjaket kuning melewati penjagaan dan dibiarkan masuk. Bulan lantas melihat ke dalam melalui celah pagar besi. Tampak ratusan mahasiswa masih bergerombol di teras gedung MPR. Banyak di antara mereka yang naik ke atap gedung bundar. Spanduk-spanduk berbentangan di atap gedung, tapi mata Bulan berkunang-kunang, tak dapat menangkap dengan jelas bunyi tulisan pada spanduk-spanduk itu.

Tiba-tiba angin malam bertiup sangat kencang, disertai serpihan-serpihan air. Mungkin serpihan-serpihan embun yang diterbangkan dari pohonan, atau hujan rintik-rintik. Malam itu langit memang mendung, seperti ikut berduka pada negeri yang rakyatnya sedang dilanda derita akibat krisis ekonomi, dan saat itu mereka telah kehilangan kesabarannya sehingga mendesak pemimpin negeri mereka agar segera turun dari kursi kekuasaannya. Bersama para mahasiswa mereka pun melakukan aksi-aksi demonstrasi secara besar-besaran. Dan, itulah yang mereka sebut sebagai gerakan reformasi.

Tapi, tidak mudah untuk menurunkan presiden mereka yang telah berkuasa selama 30 tahun lebih. Mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan, pentungan, gas air mata, semprotan air, dan peluru-peluru karet yang kadang terselipi peluru beneran. Mungkin mereka para penyusup atau oknum-oknum yang sengaja disusupkan untuk memperkeruh keadaan.

Bersama para aktivis mahasiswa sekampusnya Bulan pun ikut turun ke jalan --untuk ketiga kalinya. Pada demo pertama dan kedua ia merasa asyik-asyik saja, ikut meneriakkan yel-yel di barisan paling depan sambil membentangkan spanduk. Ketika dibubarkan oleh aparat keamanan ia sempat menyelamatkan diri meskipun matanya jadi pedih karena gas air mata. Tapi, pada demo ketiga ia bernasib sial. Setelah terjungkal karena hantaman "meriam air", ia terinjak-injak tentara dan ratusan mahasiswa. Saat itulah dia merasa benar-benar akan mati, dan hanya bisa bergumam "Allahu Akbar" sebelum berjuta kunang-kunang dan kegelapan menyergap kesadarannya.

Dalam kegelapan, Bulan benar-benar kehilangan matahari. Ia terbang jauh menempuh lorong panjang yang tak sampai-sampai ke ujungnya. Di kanan kiri lorong tampak beribu-ribu, bahkan mungkin berjuta-juta tangan, dalam bayang-bayang putih, berderet melambai-lambai padanya. Sempat terbersit dalam pikirannya bahwa ia telah mati dan saat itu ruhnya sedang terbang kembali menuju Tuhannya. Tapi, penerbangan itu dirasanya begitu lama, begitu jauh, dan tak sampai-sampai. Ia ingin berteriak karena kelelahan, tapi tak ada suara yang keluar dari kerongkongannya. Ia ingin menjerit karena kehausan, tapi tak ada minuman yang dapat diraihnya. "Kenapa perjalanan menuju Tuhan begitu menyengsarakan? Apakah karena aku terlalu banyak dosa dan kini sedang menuju neraka?" pikirnya.

Di puncak kesengsaraan itulah tiba-tiba secercah cahaya menyongsongnya di ujung lorong. Bulan mencoba berontak dari kegelapan, mempercepat terbangnya, untuk meraih cahaya itu. Begitu tangannya berhasil menggapai cahaya, ia pun menggeliat sekuat-kuatnya untuk melepaskan diri dari tangan-tangan kegelapan yang terus mencengkeramnya untuk mengembalikannya ke lorong panjang yang hampa itu. Dengan sekuat tenaga akhirnya ia berhasil meloloskan diri dan masuk ke gerbang cahaya. Saat itulah ia membuka matanya, dan menyadari dirinya terkapar dalam gelap malam di luar pagar halaman kompleks gedung MPR.
***
Ingat penerbangan panjang yang melelahkan itu, tubuh Bulan tiba-tiba menggigil hebat. Malam memang telah beranjak ke dini hari, dan udara Jakarta benar-benar terasa dingin sehabis gerimis. Apalagi trotoar tempat ia terbaring juga basah. Angin berkesiur cukup keras, menerpa tubuh dan menggigilkan tengkuknya. Sesekali gerimis menderas dan cepat mereda kembali. Dua tentara yang masih berjaga di gerbang gedung bundar pun sudah menutup tubuh mereka dengan mantel.

Bulan merasa tangan-tangan maut kembali mendekatinya, untuk meraih ruhnya dan menerbangkannya kembali ke lorong panjang tadi, untuk benar-benar menemui Tuhannya. Bulan tahu tiap mahluk hidup pasti akan mati. Begitu juga dirinya. Jika saatnya telah tiba, dia pun akan mati juga. "Tapi, jangan secepat ini, ya Allah. Aku masih terlalu muda. Aku belum siap menghadapMu. Masih banyak yang harus aku lakukan. Masih banyak yang harus aku sempurnakan," gumamnya.

Bulan ingat shalatnya yang masih bolong-bolong. Apalagi saat-saat mengikuti unjuk rasa, karena sebagian besar waktunya habis di jalan. Ia ingat harapan ayah dan ibunya yang memimpikannya menjadi pengacara untuk meneruskan karier sang ayah. Mereka tentu akan sangat kecewa, kalau ia pulang bukan bersama gelar sarjana hukum, tapi bersama peti mayat. "Ya Allah, hamba benar-benar belum siap menghadapMu. Berilah hamba kekuatan dan kesempatan untuk meraih cita-cita itu," doa Bulan dalam hati.

Tapi gerimis tidak juga reda dan dingin malam makin menggigilkan tubuh Bulan. Ia ingin sekali berteriak untuk meminta tolong, tapi tak ada lagi pejalan kaki yang lewat. Sedang dua tentara yang berjaga di gerbang masuk gedung bundar terlalu jauh darinya dan ia yakin tidak akan mendengar teriakannya yang pasti sangat lirih, karena ia sudah kehabisan tenaga. Satu-satunya harapan tercepat adalah datangnya para petugas kebersihan kota yang memang mulai bekerja pada dini hari. Ia berharap mereka akan menemukannya dalam keadaan masih sadar, dan masih menganggapnya sebagai manusia sehingga tidak dilempar ke truk sampah tapi segera dilarikan ke rumah sakit.

Namun, harapan itu tidak kunjung tiba juga, dan ia merasa terlalu lama menunggu. Lama sekali. Dan, sebelum "pasukan kuning" itu datang, kepala Bulan tiba-tiba terasa sangat ringan sehingga ia merasa seperti melayang-layang di udara. Sedetik kemudian berjuta kunang-kunang menyergapnya dan menyeretnya ke dalam kegelapan yang sangat dalam, kembali menerbangkannya ke lorong panjang tak berujung. Bulan tak tahu, kali ini penerbangannya akan sampai ke mana.




Pohon yang Hilang


Lelaki bertubuh kecil bernama Marzuki itu terkejut melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Ia serasa mengenali garis-garis wajah itu.

"Man, Lukman, masya Allah. Bener ini kamu, Man?"
Lelaki yang disapa Marzuki itu tersenyum. Benar, itu memang Lukman, kawan masa kecilnya.

"Apa kabar, Ki?"
Mereka saling berangkulan. Lebih tepat, Marzuki merangkulnya lebih dulu.

"Nggak saya sangka, Man. Keren banget kamu sekarang. Cakep. Berapa tahun ya kita enggak ketemu?"
Sebaliknya, ia justru melihat kehidupan mandek begitu saja di suatu tempat. Berubah menjadi hantu tumpukan persoalan yang membuat kenalan lamanya itu terlihat lebih tua daripada usia sebenarnya. Uban di rambut, kantong mata kendor, letih menatap hidup. Tubuh kecil ringkih.

Ia sengaja menyulap dirinya menjadi peziarah yang singgah sebentar ke tempat lama yang dikenalnya. Perkampungan itu. Perkampungan di tengah ibu kota. Hampir 20 tahun berlalu, semenjak keluarganya membawanya merantau ke kota lain. Ke pulau lain. Lalu menghilang dalam kelebat hidup bergegas di negeri empat musim.

Sekolah. Bekerja. Berkeluarga. Perkelaminan. Hidup ternyata cuma deretan angka-angka.
Berapa umurmu? Apakah nilai sekolahmu selalu bagus? Hei, kau sudah bekerja ya, berapa gaji pertamamu? Sudah berapa lama ya kita tidak ketemu? Nomor teleponmu yang sekarang dong? Umur berapa kau menikah? Berapa anakmu sekarang?

Hah. Angka. Angka. Angka.
Sekarang angin membawanya kembali ke sana. Ke tempat ia melewati masa kanak-kanak dan tahun-tahun awal masa remajanya. Dua puluh tahun lalu. Bukan waktu sebentar. Cukup untuk mengaburkan segala kenangan masa silam menjadi serpihan-serpihan samar yang tak lagi jelas warna dan bentuknya. Ah, kenangan. Bisakah manusia hidup dari kenangan?

Betapa pun ia menyukai kunjungan itu. Apa pun alasannya. Apa pun maknanya. Ia bisa kembali menginderai perkampungan yang begitu "kampungan" itu ("kampungan". Ia selalu mengucapkan kata itu dengan nada rindu yang berbekas di ujung lidahnya). Bertemu bau khas memualkan meruap dari selokan mampet berwarna keruh kehitaman. Terkadang ada bangkai tikus bengkak dengan perut membesar keputihan, mengambang di selokan. Orang-orang berlalu dengan sorot mata jijik dan tangan menutup hidung.

Tak ada kata lain yang lebih tepat selain mengakui perkampungan di tengah kota itu memang jorok betul dan kampungan betul. Padahal, letaknya bersisian dengan salah satu jalan penting di pusat Jakarta. Sebuah perkampungan tua. Konon riwayatnya bisa dirunut sejak Sultan Agung dari Mataram memutuskan menyerbu VOC di Batavia. Prajurit Sultan Agung yang tercecer kemudian menetap di perkampungan itu, kawin mawin dengan penduduk asli, beranak pinak. Jangan-jangan mereka desersi karena gagal menaklukkan birahi mereka sendiri.
Bagaimanapun, perkampungan itu pernah ikut mengasuh dan membesarkannya.
***
Marzuki mengajak mampir ke rumahnya. Ia penuhi ajakan itu. Masih rumah lama, rumah warisan orang tua. Letaknya berdekatan dengan lapangan bulu tangkis tempat dia bermain di masa kanak-kanak dulu. Sekarang lapangan itu sudah disemen, rapi, dengan garis-garis permainan dari ubin keramik putih, bukan lagi irisan bambu.

Hanya rumah Marzuki kelihatannya tidak banyak berubah. Letaknya masih lebih rendah daripada selokan di depan rumah. Rumah kecil yang catnya mengelupas dan selalu ramai celoteh kelima anaknya yang masih kecil-kecil. Yang selalu kebanjiran ketika musim hujan tiba. Marzuki memperkenalkannya pada perempuan berpenampilan seadanya. Istrinya.

Ia memaksa diri minum teh manis yang dibuatkan perempuan itu. Terlalu manis. Gelasnya tidak terlalu bersih; masih tersisa aroma sabun. Agaknya dicuci tergesa-gesa. Gelas murahan, dapat gratis jika membeli barang-barang tertentu di pasar.

Ia tak membiarkan Marzuki bertanya lebih jauh perihal kehidupannya sekarang. Buat apa. Ia tahu dunia mereka sudah terlalu jauh berbeda. Justru ia yang sibuk bertanya-tanya pada kawannya itu mengenai kehidupannya sekarang. Kehidupan kawan-kawan lama mereka. Orang-orang yang pernah dikenalnya, yang ikut mewarnai kehidupannya di masa lalu. Begitu banyak perubahan. Bukan untuk mengorek, tapi sekadar memenuhi rasa ingin tahunya saja.

"Si Jimi?"
"Jadi Bandar putaw. Mati. Ditembak polisi."

"Astaga. Kalo Syafri?"
"Di Arab. Jadi TKI."

"Rima?"
"Di Surabaya. Bini kedua. Anaknya udah tiga."

"Syamsul?"
"Alhamdulillah, dia yang paling bener hidupnya. Sekarang punya pesantren kecil. Di Bogor."

"Masduki?"
"Kerja di pabrik gelas di Tangerang."

"Ustad Bibi?"
"Meninggal, Man. Tahun lalu. Darah tinggi."

"Innalillaahi
"
Ah, kenangan manis. Masa kanak-kanak. Percakapan mengalir begitu saja. Wajah-wajah berlintasan. Samar-samar. Sayup-sayup. Ada orang mengaji Quran. Ingatan mengalir kembali. Ustad Bibi, Habibi, dengan rotan yang tidak pernah ketinggalan dihantamkan di rehal. Sakitnya cubitan ustad itu. Ia pandai mencubit seperti perempuan. Kecil, pedih, berbekas di paha.

Terbayang kembali masjid kecil dengan dinding setengah tembok setengah kayu, di tengah perkampungan, tempat dia belajar mengaji. Suara anak-anak membaca juz Amma. Ada suaranya di sana. Kecil. Nyaring. Cerita tentang sorga dan neraka. Nanti di alam kubur akan ditanyai malaikat. Ah, kenangan.

Untuk sesaat, ia juga bisa melihat kemuraman terhapus dari wajah Marzuki. Mereka tertawa, semakin larut dalam kenangan masa kanak-kanak.
"Tapi sekarang perkampungan ini tambah gersang ya, Ki? Pohon gede semakin jarang kelihatan."

Marzuki mengangguk, masih ingat betapa mereka dulu begitu gemar memanjat pohon. Sekarang perkampungan itu semakin kehilangan pohon besar yang bisa dipanjat anak-anak. Mungkin karena rumah-rumah semakin tumbuh merapat. Tak ada lagi lahan tersisa untuk tumbuh sebatang pohon besar yang bisa dipanjat anak-anak.

Padahal, begitu cintanya mereka waktu itu pada pohon tinggi. Pohon apa saja. Makin tinggi makin menantang. Ya, ia tetap mengingatnya dengan baik. Pohon mangga, pohon jambu air, pohon seri, pohon cereme. Bahkan pohon buni di dekat rumah kosong yang angker dan konon ada penghuninya, dengan buah kecil-kecil yang masam dan segar buat kelengkapan rujak tumbuk. Jenis buah yang tak lagi dikenali anaknya yang terbiasa dengan buah-buahan impor yang berderet di super market. Ah, Jakarta, ibu kota ini terlalu pelit dalam memberikan pohon di lingkungan pemukiman. Khususnya di perkampungan macam ini.

Mendadak Marzuki mengajaknya ke luar rumah. Ia mengikuti dengan pandangan bertanya. Masih di dekat lapangan bulu tangkis itu, Marzuki berhenti. Ada sebuah tempat anak-anak muda kampung itu biasa berkumpul.

"Masih ingat tadinya di sini ada apa?"
Ia tersenyum. Mengangguk.

"Pohon jaran. Kak Ila," bisiknya.
"Hehehe
ingetan kamu masih bagus, Man."

Ia tersenyum. Samar. Dulu di tempat itu memang ada sebatang pohon jaran. Entah apa nama latinnya. Pohonnya tinggi, besar, kokoh, sekitar 30 meter menjulang ke langit. Daunnya kecil-kecil, rimbun. Pohon kesayangannya. Hampir setiap ada kesempatan ia selalu menaikinya. Bahkan pernah bersama Marzuki ia membuat rumah-rumahan kecil dari kayu, di pohon itu. Ia senang berada di atas. Seolah tangannya bisa menjangkau langit biru. Gedung tinggi Jakarta terlihat di kejauhan. Mosaik pemukiman sekitarnya. Jika beruntung, pagi-pagi sekali, ia bahkan masih bisa melihat Gunung Salak dan Gunung Gede di kejauhan. Ia bisa menuntaskan khayalannya menjadi petualang perkasa yang menaiki tiang-tiang tinggi kapal layar yang berlayar di tengah samudera. Bahkan ia betah berjam-jam berada di atas pohon itu.

Dan sebuah kamar mandi umum tanpa atap, radius sekitar 30 meter dari pohon itu. Ingatan yang tak pernah lekang dari benaknya. Ketika dari atas pohon itu, tanpa sengaja, ia dan Marzuki memergoki tubuh perempuan dewasa yang sedang mandi. Utuh. Penuh. Sempurna. Dengan paha bak pualam, payudara indah seperti keramik Cina. Tanpa sehelai benang pun. Ia melihat semuanya. Tubuh bugil Kak Ila, istri Mas Agus, tetangganya. Basah berlumur busa sabun.

Pemandangan itu, meskipun hanya satu kali, begitu mengesankan dan sempat bersemayam lama di hatinya. Membuat dada kanak-kanaknya yang tengah memasuki masa peralihan ke usia remaja, selalu berdesir. Untuk pertama kalinya ia merasakan desakan gairah begitu kuat di sekitar celananya.

"Kamu tahu Man, aku onani pertama kalinya ya setelah ngeliat Kak Ila itu. Malamnya ketakutan setengah mati. Mikir, kemakan omongan orang, kalau onani bisa jadi buta dan gila. Bego ya, dasar anak-anak," bisik Marzuki sambil nyengir dan mengedipkan matanya.

Ia tersenyum simpul. Hal yang sama juga terjadi pada dirinya.
Sekarang pohon itu sudah tidak ada. Ditebang beberapa tahun lalu. Di bawahnya dibangun pos ronda. Namun, ia masih bisa melihat sisa pohon itu. Bonggol akar dan pangkal batangnya dibuat semacam meja oleh anak-anak muda kampung itu. Meja kayu yang tampak tua, hitam mengkilat karena dipernis berulang kali.

Meskipun hanya sebentar, ia tahu perjalanannya ke perkampungan yang pernah ditinggalinya itu memuaskan rasa ingin tahunya. Ada janji lain yang harus dipenuhinya kepada seorang relasi. Waktu untuk berpisah sudah tiba. Ia segera berpamitan pada Marzuki, masih sempat menyumpalkan lembaran uang ke tangan kurus itu

"Apaan nih, Man. Masya Allah, banyak bener. Enggak salah nih. Lima ratus ribu. Makasih ya, Man."
"Kalau ada tawaran harga cukup bagus untuk ngelepas rumah dan tanahmu, terima aja ya, Ki," katanya sambil bergerak menjauh dan melambaikan tangannya.
"Apa, Man?" Marzuki tak begitu mendengar perkataannya, karena masih terperangah pada rezeki nomplok yang hinggap di tangannya.
***
Dalam mobil yang membawanya ke salah satu hotel bintang lima di pusat kota, ia tahu ia tidak terganggu dengan kenangan sesaat dari perkampungan itu. Keputusannya tidak berubah.

Ia menelepon sekretarisnya. "Halo, Katrin, bagaimana dengan persetujuan gubernur? Sudah turun hari ini? Bagus! Saya sudah melihat lokasi itu. Sampaikan pada semua staf, saya minta mulai bergerak hari ini juga," pesannya dengan nada tegas.

Persetujuan dari gubernur sudah turun untuk studi kelayakan yang dibuat timnya terhadap wilayah itu. Cepat atau lambat warga perkampungan yang pernah menjadi tetangganya akan tergusur dari lahan itu. Dengan cara apa pun. Ia mengeraskan hatinya. Wajah-wajah mereka yang pernah dikenalnya di perkampungan itu berlarian di benaknya.

Sekarang ia siap kehilangan tempat itu. Perkampungan yang mandek dan tersesat dalam waktu. Mungkin terasa pahit pada awalnya. Tapi, obat pahit dibutuhkan untuk menyembuhkan sakit dan melanjutkan hidup. Pohon kokoh bisa ditebang jika tak dibutuhkan lagi. Marzuki dan keluarganya? Teman-temannya yang lain? Tetangganya di masa lalu? Terima kasih. Mereka akan selalu menjadi bagian kenangan hidupnya. Namun biarlah sang nasib yang akan mengatur hidup mereka selanjutnya. Ia pun hanya menjalani nasib dan kehidupannya sendiri. Ia tahu itu. Sejak lama.

Ia juga tahu berapa harga pantas untuk sebuah kenangan. Tolol kalau membiarkan perkampungan itu tetap ada dalam peta Jakarta. Lokasinya terlalu strategis untuk diabaikan dari sudut pandang ekonomi. Ia tahu ia bisa menyulapnya.

Ah, pesulap. Tiba-tiba saja ia ingat nama-nama itu.
"Rustam, kamu tahu pesulap yang namanya Houdini atau David Copperfield?" Ia bertanya pada sopirnya.

"Yang David itu pernah dengar, Tuan. Yang satu lagi, belum. Kenapa, Tuan?"
"Tidak apa-apa."

Ia tersenyum. Dengan koneksi, modal, dan kekuasaan yang dimilikinya, ia tahu ia bisa menjadi "pesulap" yang lebih baik daripada Houdini atau David Copperfield!


Sang Pengembara


CINTA membuatku bodoh. Sebetulnya aku membenci keadaan ini. Sudah lama aku tidak jatuh cinta. Dan tiba-tiba makhluk gaib itu datang, menyergapku dari belakang, membantingku dengan kasar, jatuhlah aku ke pelaminan.

Aku seorang pengembara, tapi kini aku terjerat tali pernikahan. Bayangkan. Seorang pengembara terjerat tali pernikahan! Pernikahan tanpa janur kuning melengkung, tanpa kelapa gading menggelantung, tanpa setandan pisang raja, melati dironce-ronce, apalagi gending Kodok Ngorek, tidak ada sama sekali. Semua berlangsung tawar, tidak semerbak, abu-abu, persis mendung menggantung.

"Ini pernikahan resmi kan, Ma?" tanyaku kepada ibu mertuaku, setelah semua tamu pulang.

"Resmi…!" Alis matanya agak menaik. "Ada naib dan petugas KUA. Sah
menurut hukum dan agama. Emangnya kenapa?"

"Ya alhamdulillah, merasa bahagia saja…," jawabku. Aku memang seorang muallaf sejak Agustus 2003. Jadi maklum belum begitu paham.

Kami pun kembali terdiam. Ibu mertuaku asyik memisah-misahkan jepitan rambut yang tadi dipakai istriku. Ada yang besar ada yang kecil, dipisahkan satu dengan lainnya. Lalu disimpan di kotak kecil-kecil. Sambil menyulut rokok, aku sandarkan punggung ke tiang kayu penyangga rumah limasan ini. Tidak ada penutup atap. Gentingnya terlihat dari bawah. Lonjoran-lonjoran bambu tampak jelas.

Aku tercenung sejenak. Teringat mendiang ibuku yang meninggal November tahun lalu. Seandainya masih hidup, tentu ia bahagia sekali menyaksikan pernikahanku. Wasiat terakhir untukku hanya satu: ia ingin melihatku bahagia.

Rambutku terasa sedikit naik. Angin bukit batu yang kering, bersirobok masuk dari pintu depan. "Aku mengalami kebahagiaan hanya pada saat berdoa saja, Bu…," gumamku dalam batin.

Pernikahan, terus terang, memang membuatku bahagia. Meski perhelatannya berlangsung sangat sederhana. Pernikahan memaksaku berhenti mengembara. Puluhan tahun aku melintasi jalanan sepi dan gelap, berteman rindu dan harapan. Kakiku melangkah tanpa kepastian. Akhirnya aku dihentikan oleh kekuatan yang tidak pernah aku pahami. Jodoh membuatku berhenti melangkah.

Sebagai pengembara, sungguh tak pernah aku mempelajari apa itu hakikat perkawinan, rumah tangga bahagia, keluarga sakinah dan sebangsanya. Jadilah aku manusia paling bodoh. Mengalami ketergagapan budaya dalam berumah tangga. Sebuah ritual tradisional yang dijalankan turun temurun oleh seluruh umat manusia di dunia ini. Dan aku tidak mengenalinya sama sekali.

Dulu, aku merasa takut menghadapi pernikahan. Dalam bayanganku, semua keperluan rumah tangga harus dipersiapkan terlebih dahulu, seperti rumah, penghasilan tetap dan kendaraan. Sejak usia 18 tahun, sudah tiga kali aku membangun rumah, hanya untuk memahami elemen-elemen pernikahan itu. Rumah pertama, mungil tapi permanen, terpaksa aku jual karena pindah ke Surabaya. Dan calon istriku pergi jadi pramugari. Terbang, selamanya.

Rumah kedua, sebetulnya aku tidak begitu berminat membangunnya untuk tujuan berumah tangga, meski pacarku cintanya tak terbatas untukku. Kubangun di pinggir jalan besar, di sebuah desa yang tenang. Aku tinggal di situ setahun lamanya, sambil menyelesaikan buku keduaku tentang meditasi. Aku jual lagi. Pacarku ke Singapura bekerja di sana.

Setelah itu, aku tidak membangun rumah lagi. Tapi membelinya. Di daerah sentra pariwisata di Jogja. Sebuah rumah joglo tua dan angker. Kubuat galeri

kecil, lumayan juga. Lukisan-lukisan karyaku sempat dibeli turis Belanda dan Belgia. Akhirnya, karena jenuh dan ada peristiwa bom Bali, aku memutuskan

mengembara lagi. Rumah itu kujual secara tergesa-gesa.

Kini, aku punya istri yang setia tapi tidak punya rumah. Dulu aku punya rumah tapi hidup sendiri tanpa istri. He..he…he, ironis kan? Sementara ini istriku tinggal bersama mamanya. Ia memang anak yatim yang didera penderitaan hidup berkepanjangan.

Aku letakkan puntung rokok terakhirku ke asbak. Ibu mertuaku ternyata sudah sejak tadi beranjak dari duduknya. Lamunanku tentang peristiwa pernikahan ini, membuatku tidak memahami lingkungan sekitarku. Aku pun beranjak, mencari istriku di bilik sebelah, bersekat tripleks.

Istriku cantik sekali. Tercantik di dunia. Ia tampak sedang sibuk memberesi pakaian pengantinnya, bedaknya dan segala tetek bengek perlengkapan gaun pengantin. Bau parfum Drakkar Noir dari Calvin Klein masih tertinggal, di ujung hidungku. Tadi, seusai resepsi, kucium dia di tengkuknya. Jadi aroma parfumnya ikut juga. Memang, itu parfum cowok. Tapi mau bagaimana lagi? Adanya cuma itu. Aku membelinya di drugstore Bandara Juanda, Surabaya dua tahun lalu, sepulang dari Makassar.

Aku cium lagi tengkuknya. Ia tersenyum manja. Kebahagiaan terpancar di wajahnya. "Mau ngopi lagi, Mas?" tanyanya. Aku menggeleng, kudekap dia dari belakang, kemudian kita saling menempelkan pipi dan mematut-matut di depan cermin. Sepasang pengantin baru yang menikah diam-diam. Aku lihat matanya berbinar-binar. Ia bahagia.

Makna kebahagiaan bagiku hanyalah setetes warna yang lebih bersinar di antara warna-warna lain yang kusam. Setiap orang yang mampu meraih segala sesuatu yang diidam-idamkan, tentu merasa bahagia. Begitu pula aku. Seringkali aku merasa lelah mengembara dan ingin hidup layak seperti pada umumnya orang dengan menikah, berkeluarga, dan beranak pinak seperti yang disampaikan Allah kepada Nabi Ibrahim.

Dua minggu menjelang pernikahan, secara khusus memang aku memohon kepada kekuatan Yang Maha Dahsyat. Kekuatan paling purba, sebelum bumi dan tata surya ini tercipta. Di bawah pohon tua berumur ratusan tahun, di atas bukit kecil yang lembab, tepat tengah malam dan purnama penuh di angkasa, aku sampaikan permohonan keramatku itu. "Aku tidak butuh kekayaan, aku butuh istri dan sebuah keluarga," begitu doaku. Kun fayakun, terjadilah segala sesuatunya secepat kilat.

Pernikahanku juga berlangsung kilat. Memang, ketemunya sudah lama, dua tahun silam di acara pernikahan seorang artis dangdut top ibu kota. Belum ada getar-getar cinta kala itu. Pertemuan kedua terjadi di Jogja, di pinggir lapangan golf Hyatt Regency, Bogeys Teras. Biasa saja, semuanya berlangsung biasa. Cuma di tengah dentuman musik classic rock yang mengalun, dia mengatakan kepadaku setengah berbisik: "Kalau mau sama aku, harus serius…," katanya.

Langsung saja aku melamarnya malam itu juga. Ia pun mencium punggung tangan kananku. Resmilah kita mengikat janji. Sepuluh hari setelah malam "bertabur bintang" itu, terjadilah pernikahanku ini. Tanpa surat undangan dan wedding taart.

Perjalanan pernikahanku memang terkesan begitu indah. Tak ada cacat,
semua berjalan baik dan tenang. Ombaknya kecil, landai, dan bisa pasang layar sesuka hati. Langit biru tampak bersahabat di ujung cakrawala dan matahari bersinar ramah.

Kunikmati pernikahanku. Sedikit unik. Biasanya jok sebelah kemudiku selalu kosong. Paling, terisi dokumen pribadi dan beberapa bungkus rokok. Kini ada wanita cantik dengan rambut tergerai, tawa yang renyah dan sangat suka memakai aksen…gitu loh. "Liya gitu loh….," katanya menegaskan bahwa Liya beda dengan Lia.

Aku jadi mudah tertawa dibuatnya. Segala kata jadi berbunga-bunga, dan kita selalu mengurung diri di kamar berdua. Bercanda, berantem kecil-kecilan, saling merajuk dan tentu saja, bercinta.
"Aku pengin punya anak 9," kataku.
"Dua saja….Capek," jawabnya sambil menepuki perutnya.

Lalu kita berpelukan lagi. Seolah tidak ada cakrawala untuk luapan kegembiraan dan kebahagiaanku. Tidak ada yang membatasi. Tidak ada garis lurus yang memisahkan. Tidak seperti langit dan bumi yang dibelah di cakrawala. Segalanya serba los, bebas dan tak terbatas. Luar biasa. Aku selalu merindukan setiap menitnya.

Tawa ceria dan segala canda itu ternyata tidak berumur lama. Begitu cepat perginya. Sama cepatnya dengan proses pernikahanku. Kebahagiaan, agaknya, tidak pernah berpihak kepadaku. Segala sesuatunya berbalik 180 derajat. Sirna seketika. Berubah serba hitam. Galau. Gelap. Bergemuruh. Menghentak-hentak dan menyambar-nyambar. Setiap kata jadi bersayap-sayap. Salah paham muncul silih berganti. Kecemburuan, kecurigaan, dan pembicaraan-pembicaraan yang penuh teka-teki pun berebut mengganggu.

Salah ucap sedikit, menjelma jadi bara api. Berkilat-kilat. Aku sampai tidak sempat berdoa karena pikiranku tersita sepenuhnya untuk istriku. Kelakuannya berubah-ubah, sulit dipahami.
"Aku ingin sendiri," katanya pelan, tapi kurasakan seperti halilintar.
Menggelegar.
"Kita ini menikah, bukan pacaran. Ini Suro…harus serba hati-hati," kataku
mengingatkan.

"Hasyaahhhh….." Mukanya jadi cemberut dan bibirnya jadi tambah lancip.
Rambutnya yang dikucir bergoyang-goyang. Meski marah, kuakui, dia tetap saja menggemaskan.

Sambil menjentikkan abu rokok ke asbak, ia pun berargumentasi tentang pernak-pernik kegalauan perasaannya. Dari soal sepele sampai besar. "Aku tuh sukanya mobil-mobilan dan korek api, bukan bunga…Sabunku juga bukan yang itu, shamponya yang ini….." Mimik mukanya agak berkerut-kerut, ketika aku bawakan setangkai red rose yang dikemas plastik cantik.

Aku berusaha menyelami segala sesuatunya dengan hati-hati. Termasuk soal rumah, yang berkali-kali dilihat masih kurang cocok di hati. Kadang jengkel juga. Namun pernikahan tidak boleh terganggu dengan perasaan-perasaan yang tidak berguna seperti itu. Pernah aku berpikir kenapa harus begitu tergesa-gesa menikah?

"Aku sudah lelah dan jenuh dengan kehidupanku selama ini. Jadi aku
memutuskan untuk cepat menikah," katanya ketika itu.

Argumentasinya itu membuatku merasa menemukan wanita yang sudah matang. Masa lalu yang carut marut memang harus diakhiri ketika pernikahan terjadi. Ketika baju pengantin dikenakan dan akad nikah ditandatangani, maka masa lalu berakhirlah di situ. Pernikahan adalah sebuah lembaran baru yang serba bersih, sehingga kita bisa menuliskan apa pun di sana sesuka hati, tanpa harus dihantui lembaran-lembaran hitam masa lalu. Kisahnya harus dibuat sesuai tata nilai yang berlaku di masyarakat. Ditata seperti mengatur sebuah taman bunga. Agar segalanya serba semerbak dan mewangi. Sampai akhirnya lembaran pamungkasnya ditutup sendiri oleh Sang Khaliq. Pemilik hak atas seluruh hukum kehidupan. Ah, lumayan juga teoriku ini.

"Hanya kematian yang bisa memisahkan sepasang pengantin," kataku kepadanya. Ia tercenung beberapa jurus. Matanya yang indah terdiam beberapa saat. Lalu bola matanya berubah jadi abu-abu. Ia pun meledak-ledak lagi. Ada bau parfum yang berbeda dari tubuhnya, ketika ia berdiri sambil bersungut-sungut. Aku terhenyak. Berangkat kantor tadi pagi, memang ia sudah terlihat kusut. Tapi aku tidak memikirkannya terlalu dalam. Sewaktu turun mobil, ia hampir lupa mencium tanganku.

"Aku suamimu bukan?" tanyaku pelan, sambil kusodorkan tangan kananku.
Ia pun menciumnya. "Nanti dijemput jam berapa?" tanyaku lagi.
"Jam empat sore. Mundur satu jam," jawabnya, sambil bergegas turun.

Prahara itu pun dimulai. Bau parfum yang berbeda sepulang kantor, menjadi puncak dari seluruh masalah yang bertumpuk. Padahal sepulang kantor tadi kami sempat melihat sekali lagi rumah yang akan kami tempati.

"Besok aku mau naik bis kota saja. Nggak usah diantar jemput lagi," ujarnya sambil membanting tubuhnya ke kasur. Ia memunggungiku. Tampak jengkel.

Aku berharap keadaan itu hanya sementara saja. Seperti permasalahan-permasalahan kecil yang terjadi di hari-hari kemarin. Ternyata tidak. Besok-besoknya lagi, tetap sama. Terus-menerus begitu. Sehari dua hari. Seminggu dua minggu. Seluruh saluran komunikasi ditutup. Ia pun ganti nomor hand phone. Aku takut membayangkan kenyataan yang bisa membuatku bersedih.

"Ini hanya sementara…," katanya ketika aku nekat menemuinya, di siang yang terik. "Sementara…," itulah kata-kata yang aku jadikan pegangan. Meski berat dan dipenuhi ribuan teka-teki, aku berusaha meyakini janjinya itu.

Kehidupanku pun limbung. Aku kembali melangkah tanpa kepastian, tak ada teman selain rindu dan harapan. Keinginanku untuk menjalani kehidupan masa lalu kembali menggelegak lagi. Mengembara. Ya, mengembara. Akulah, pengembara itu!

Aku harus kembali berteman dengan alam, dengan orang-orang yang hidup
sederhana di ujung-ujung desa, di pegunungan dan di pinggir-pinggir pantai. Bertemu orang-orang yang tulus mencintaiku, menerimaku dengan tangan terbuka, tanpa rasa curiga, saling pengertian dan tidak mengkhianati. Aku merasa bahagia. Apalagi kalau mereka berduyun-duyun di belakangku, mengikutiku berdoa.

"Tapi ya Allah, apakah Engkau tidak mengizinkan aku memiliki sebuah keluarga, keturunan, dan generasi pewaris?" gumamku ketika aku datang lagi ke pohon besar di atas bukit yang lembab itu.





IKAN-IKAN dengan penuh warna di tubuhnya, mati kelaparan dalam akuarium di ruang tamu. Sesosok bayangan melintas di sana. Mengitari kotak kaca itu dengan cara yang belum dikenal oleh pemiliknya. Lalu muka mendelik. Menyalangkan kedua matanya lebih tajam dari sinar lampu. Bayang-bayang itu kemudian bergerak dan mengepalkan tinju ke dinding air persegi lima.

Pyaaarrrr !!!
Akuarium di ruang tamu itu pecah. Tubuh air bergulingan. Kaca-kaca berantakan. Bau anyir lekat di lantai, karena gagal sembunyi ke tanah. Bayang-bayang menghilang. Tubuh ikan dan kematian juga menghilang. Entah ke mana. Tapi pecahan-pecahan kaca itu, tak bisa lenyap dari pandangan mata. Lalu berbiak dan melayang-layang. Memenuhi udara di ruang tamu. Menembusi pintu-pintu yang terkunci. Memasuki ruang keluarga, kamar tidur dan kerja, juga dapur dan kamar mandi.

Pecahan-pecahan kaca itu bergerak sangat cepat. Melingkar bagai surya benggala. Memantulkan sejarah dan riwayat para penghuni rumah. Seperti kisah dan dongeng, seperti mimpi dan kenyataan yang diceritakan malaikat kepada para nabi dan wali; dunia dapat berubah setiap saat tanpa sebab yang diketahui oleh akal budi.

"Jika Tuhanmu menghendaki, tak ada sesuatu pun yang bisa menghalangi."
"Maka, terjadilah apa yang terjadi."
"Siapakah yang mampu menghidupkan kembali tulang-tulang ikan itu sebagai saksi terhadap segala peristiwa yang telah terjadi?"

Tak ada yang menjawab. Tak juga aku atau engkau. Kecuali ikan-ikan lain yang masih hidup dan membawa telur-telurnya di air tawar atau asin. Sebab ikan merupakan bentuk kehidupan paling awal sebelum manusia diciptakan. Ikan-ikan menggunakan sirip dan ekornya untuk berenang melintasi samudra. Menggunakan mulutnya untuk menghirup oksigen dalam air sebagai cara memurnikan darahnya. Ikan-ikan juga merupakan amsal para pengembara yang berjalan sendirian. Menembusi dinding-dinding udara padat dengan cara yang lurus ke depan tanpa sedikit pun menoleh ke belakang, kecuali jika ia ingin menuju ke tempat itu.

Pada saat air menjadi keruh dan kotor, ikan-ikan muncul ke permukaan untuk menghirup oksigen dari udara yang menghidupi manusia. Tanpa oksigen, ikan dan manusia tak bisa bernafas untuk mengenali keberadaannya. Oksigen adalah zat api yang dilimpahkan Tuhan ke muka bumi. Lalu dialirkan alam ke dalam sel-sel darah merah sebagai panas yang membakar makanan dalam tubuh semua makhluk yang bernyawa. Namun begitu, sebagaimana manusia tak bisa hidup di dasar laut, ikan-ikan juga tak bisa hidup di daratan.

Ketika Yunus terlempar ke laut, dan kemudian ditelan ikan Hiu, tentu ia akan mati juga di sana. Karena oksigen yang dihirup ikan tak bisa dihirup kembali oleh manusia. Jika saja ia tak pernah dicatat oleh malaikat Raqib sebagai makhluk berakal yang banyak mengingat pada pencipta-Nya; pastilah ia akan tetap tinggal dalam perut ikan itu sampai air berkerak dan berubah menjadi lumpur minyak; lalu api berkuasa untuk melenyapkan segalanya. Dan itulah sebabnya, Yunus masih bisa menggerakkan kedua kaki. Untuk sujud dan berdoa sebagaimana manusia lain yang masih memiliki harapan di dekat limpahan rahmat-Nya.

"Tiada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, Ya Allah. Keluarkan aku dari tempat ini. Sungguh! Aku ini termasuk orang-orang yang dhalim."
Lalu air mengencangkan otot dengan garam. Mengubah diri jadi gelombang. Para perompak dan penjahat tertawa ngakak, minum wisky dan arak dari botol separuh geladak. Sementara para malaikat menengadahkan kedua telapak tanganya, memohon keselamatan bagi orang-orang yang lemah dan dilemahkan oleh kekuasaan. Ikan-ikan bertasbih dengan insang dalam paru-parunya. Ikan Hiu membuka mulutnya di tepi pantai yang jauh, menyelamatkan Yunus ke daratan. Menebarkan kisah-kisah ajaib di bawah pohon palma, di antara bukit-bukit pasir, sebelum Isa dan Muhammad dilahirkan.

Sedangkan ikan-ikan lain yang lebih kecil dan tidak berdaya, hanya bisa membuka matanya untuk menjadi saksi berbagai kekejaman manusia yang disembunyikan ke dasar laut. Hingga mereka kehilangan jalan saat laut menjadi muak dan membesarkan ombaknya dalam kecemasan. Mengarak gempa dan badai. Melongsorkan batu dan tanah. Merubuhkan pohon dan rumah-rumah.

Dan ketika laut menjadi gelap, kosong, ikan-ikan kehilangan tempat untuk bersembunyi dalam rumah sejati. Sebagian lenyap jadi mineral. Sebagian lagi berpaling menuju instink yang luar biasa untuk menghindari para pemangsa. Ikan belut dan pari melindungi diri dengan cara mengeluarkan energi listrik, sekaligus menjadi tanda untuk menemukan jalan pulang di kedalaman samudra. Ikan-ikan salem mencari keselamatan bagi anak cucunya dengan menempuh perjalanan jauh; tanpa peta dan petunjuk; menuju tempat di mana mereka dilahirkan; melewati arus terjal, air terjun dan tanggul; dari laut ke sungai, dari sungai kembali ke laut. Sedang ikan yang masih berlari dalam mimpi, akan menjelma makhluk sempurna. Membangun benteng di balik batu karang. Mengalahkan raksasa air dengan penampung dan selokan-selokan di bawah dermaga, di sepanjang kota atau jalan raya.

"Maka, hidupkanlah kisah-kisah ikan itu dalam darah dan dagingmu. Jangan biarkan mereka mati dan membusuk dalam akuarium yang telah kau bangun dengan tanganmu sendiri."

Sesosok bayangan muncul kembali dengan wajah yang tidak berubah. Memberi nasehat pada penghuni rumah. Lalu pergi meninggalkan ruang tamu tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri. Kemudian lampu seperti menyala untuk yang kedua kali. Langit-langit dari asbes berkilatan di atas kepala. Dinding air persegi lima masih juga di situ. Membeber keindahan dalam selimut biru. Ikan-ikan dengan warna di tubuhnya saling bertemu dan bercakap tanpa kata. Membuka tabir penuh pesona.

Seseorang yang telah lama mengaku sebagai pemiliknya, bangkit dari sofa. Menggerakkan kedua kakinya ke arah pintu, dan keluar menuju taman yang sempit di sisi halaman. Wajah bunga membuka kelopaknya ke angkasa. Menjadi saksi keberadaan. Bintang-bintang menebarkan cahaya di langit malam. Memberi tanda bagi siapa saja yang sedang tersesat di jalan gelap.

"Engkau boleh berkhayal untuk mendapatkan bagian dari dunia, tapi engkau tak boleh lupa dan terjerumus ke dalamnya."

"Karena itu aku sedang berkhayal untuk menurunkan bintang ke dalam kepalaku."
"Bintang-bintang telah ada dalam kepalamu sebelum engkau terlahir dari rahim ibu."

"Aku tahu. Karena aku punya otak. Tapi aku belum juga mengerti, kenapa bayang-bayang ikan yang kelaparan dan mati itu selalu muncul dalam ruang gelap di kepalaku."

"Engkau telah menjawab pertanyaanmu sendiri."
"Tapi aku belum mampu memahaminya."
"Tak ada kemampuan yang dapat diperoleh, kecuali membaca! Memahami ayat dan tanda-tanda."
Pemilik akuarium itu termangu. Lalu duduk di atas bangku yang terbuat dari semen dan pasir. Ingin rasanya berdiam diri dan menghilang di antara tumpukan tanda tanya. Namun otak yang bersembunyi di ruang gelap dalam kepalanya, tak mau diam walau sementara. Kumpulan syaraf-syaraf itu terus berderak dan mendesak. Menyalangkan mata ikan dalam sunyi. Menyaksikan batang cahaya menembusi langit dan bumi.




PECUNDANG


Akhirnya aku kembali ke tempat ini. Aku tidak bisa menahan perasaanku untuk tidak menemuinya lagi. Aku hanya ingin melihatnya dari jarak yang agak jauh, dari tempat yang agak terlindung. Dari balik malam, dengan leluasa aku bisa melihatnya tertawa dan tersenyum --tawa dan senyum yang dibuat-buat-- di hadapan para tamu.

Tempat dia duduk menunggu tamu cukup terang bagi mataku, meski tempat itu hanya ditaburi cahaya merah yang redup. Aku masih bisa merasakan pancaran matanya yang pedih. Aku merasa dia sedang memperhatikan aku. Aku berusaha bersembunyi di balik kerumunan para pengunjung yang berseliweran di luar ruangan. Tapi sejenak aku ragu, apakah benar dia melihatku? Ah, jangan-jangan itu hanya perasaanku saja. Aku yakin dia kecewa dengan aku. Dia kecewa karena aku gagal membawanya pergi dari tempat ini.

Hampir setiap malam aku mengunjungi tempat ini hanya untuk melihatnya dari kegelapan dan memastikan dia baik-baik saja. Aku seperti mata-mata yang sedang mengintai mangsanya. Atau mungkin aku seorang pengecut yang tidak berani menunjukkan batang hidung setelah kegagalan yang menyakitkan hatiku. Atau bisa jadi aku telah menjadi pecundang dari kenyataan pahit ini.

Biasanya aku akan datang sekitar jam delapan malam. Aku memarkir motor di kegelapan dan berjalan perlahan menuju tempat dia biasa menunggu tamu. Jelas aku tidak akan berani masuk ke dalam ruangan yang pengab dengan asap rokok dan bau minuman itu. Aku terlanjur malu dengan dia. Makanya, aku hanya berani berdiri di luar, di dalam kegelapan, dengan tatapan mata yang sangat awas yang tertuju pada ruangan di mana dia duduk santai sambil mengepulkan asap rokoknya.

Seringkali aku dibakar api cemburu ketika ada lelaki yang menghampirinya dan merayunya. Api cemburu itu semakin menjadi-jadi ketika dia juga meladeni lelaki yang merayunya dengan senyum dan tawa. Dan hatiku benar-benar hangus ketika kulihat dia masuk ke dalam biliknya ditemani lelaki itu. Saat itu juga batok kepalaku dipenuhi berbagai pikiran-pikiran buruk. Ya, sudah jelas, di dalam bilik sederhana itu mereka akan bergulat, bergumul, dan saling terkam dalam dengus napas birahi.

Ah, sebenarnya tidak begitu. Itu hanya pikiran-pikiran burukku saja. Aku tahu dia perempuan lugu yang terjebak dalam situasi seperti itu. Semacam anak kijang yang masuk perangkap pemburu.

Aku merasa aku telah jatuh hati padanya. Kamu tahu, bagaimana proses jatuh hati itu kualami? Baiklah, akan kuceritakan untukmu. Saat itu aku diajak oleh kawan karibku datang ke tempat ini. Kawanku itu menemui langganannya. Sedang aku hanya bengong-bengong di ruangan sambil minum kopi. Seorang ibu paruh baya menghampiriku. Dengan mata genit ibu itu mengatakan padaku kenapa aku tidak masuk kamar? Aku bilang bahwa aku lagi ingin sendiri, lagi ingin menikmati suasana saja. Ibu itu mengatakan ada yang baru, masih belia, baru datang dari kampung. Ibu itu bilang usianya baru 15 tahun. Dalam hati aku tertarik juga dengan perkataan ibu itu. Wah, masih belia sekali? Aku jadi ingin tahu kayak apa perempuan yang dibilang belia itu? Ibu tua itu kemudian memanggil dia.

Sehabis mandi, ibu tua itu mengantar perempuan itu kepadaku. Dengan malu-malu perempuan ingusan itu duduk di sebelahku. Dia hanya diam dan tidak berkata-kata. Wajahnya manis dan memang masih bau kencur. Entah anak siapa yang disesatkan ke tempat seperti ini. Ibu tua itu menyuruhku segera mengajaknya masuk kamar, tentu dengan tarif khusus, lebih mahal dari biasanya.

Di dalam kamar, perempuan itu masih diam, tak banyak bicara. Dari wajah kekanak-kanakannya terpancar perasaan cemas dan keragu-raguan. Aku jadi iba melihat tingkahnya yang memelas itu. Aku segera mencegah saat dia hendak melucuti busananya. Dia bingung dengan tingkahku.

"Saya harus melayani tamu saya," jelasnya.

"Aku tak perlu dilayani. Aku hanya ingin ngobrol denganmu. Dan aku akan tetap membayar sesuai tarif yang telah disepakati," ujarku.

Aku menatap wajah yang lugu itu. Entah kenapa aku jadi tidak tega dan merasa simpati dengan dia. Mungkin aku terjebak pada pancaran matanya yang begitu diliputi kepolosan sekaligus kecemasan. Aku telah mengenal sejumlah perempuan yang bekerja seperti ini. Tapi dengan perempuan satu ini, aku merasakan dalam diriku bangkit suatu keinginan menjadi hero, ingin menyelamatkannya.

Aku mendekapkan kepalanya ke dadaku. Aku membelai-belai rambutnya yang sebahu. Tiba-tiba saja aku merasa menjadi seorang kakak yang ingin melindungi adiknya dari segala marabahaya.

"Mengapa kamu bisa berada di tempat seperti ini?" tanyaku lirih. "Seharusnya kamu menikmati masa-masa sekolahmu, seperti teman-temanmu yang lain.."

Perempuan itu diam dan menatapku lembut.

"Saya tidak tahu, Mas. Saya diajak oleh tante saya ke sini. Saya dijanjikan pekerjaan dengan gaji yang menggiurkan. Tapi ternyata saya dijebak di sini oleh tante saya sendiri."

Aku kaget mendengar pengakuannya yang memilukan itu. Diam-diam dalam hatiku, rasa kasihan perlahan menjelma rasa simpati dan keinginnan untuk mengasihinya.

"Kamu ingin pergi dari tempat ini?"

"Ya, jelas, Mas. Tapi bagaimana caranya saya bisa pergi dari sini?"

"Aku akan ngomong sama bosmu."

"Mustahil, Mas!"

"Mengapa mustahil?"

"Mas tidak paham situasi di sini. Sekali perempuan terjebak dalam tempat ini, maka seumur hidup akan berkubang di sini."

"Tidak. Aku akan menyelamatkanmu. Kamu harus melanjutkan sekolahmu. Dan kamu mesti cari kerja yang lebih bagus dari kerja begini."

Perempuan bau kencur itu menundukkan kepalanya. Matanya memancarkan harapan, harapan bagi sebuah kebebasan.

Aku cium keningnya. Aku bisikkan beberapa patah kata agar dia bersabar dan tabah. Aku ke luar dari bilik dengan perasaan gundah.

"Gimana, Mas? Bagus, kan?" Ibu paruh baya itu berdiri di depan pintu dan mengerlingkan mata genit ke arah mataku.

Tiba-tiba saja aku ingin muntah melihat tampang ibu genit itu.

"Aku ingin ngomong sama bosmu," ujarku dengan nada agak geram.

"Ada apa, Mas? Apa servisnya tidak memuaskan ya...? Wah, kalo gitu saya akan lapor ke bos."

"Jangan. Bukan masalah itu. Ada yang aku ingin bicarakan sama bosmu. Tolong panggil dia."

Perempuan paruh baya kepercayaan bos itu tergopoh-gopoh menemui bosnya. Tak berapa lama, dia muncul kembali mengiringi perempuan agak gembrot dengan wajah menyiratkan kelicikan.

"Ada apa, Mas? Apa dia tidak melayani Mas dengan baik?"

"Bukan masalah itu, Bu. Kira-kira kalau aku ingin mengajak dia keluar dari sini, gimana?"

Wajah perempuan gembrot yang licik itu seketika berubah curiga.

"Maksud Mas gimana?"

"Aku ingin mengajak dia pergi dari sini."

"Kalau begitu Mas harus menebusnya Rp 5 juta, gimana?"

Aku terkesiap. Gila benar si gembrot ini. Mengapa aku mesti menebusnya sebanyak itu? Bukankah setiap orang berhak memilih kebebasannya?

"Kenapa aku mesti menebus sebanyak itu? Dia bukan barang mati. Dia manusia yang memiliki kebebasannya," ujarku geram.

Si gembrot tersenyum sinis.

"Mas ini kayak tidak mengerti aja. Dia berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab saya. Tantenya telah menitipkan dia pada saya."

"Kalau begitu, kamu tidak berhak menjual dia dengan mempekerjakan dia sebagai pelacur," ujarku semakin geram melihat tingkah si gembrot.

"Hidup makin sulit Mas. Semua orang perlu uang dan sekarang ini segala sesuatu diukur dengan uang. Begini saja Mas. Kalau Mas mau membawa dia, maka Mas sediakan uang Rp 5 juta. Itu saja."

Si gembrot sambil menggerutu pergi meninggalkan aku yang masih terbengong-bengong. Sejenak aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku pun pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan luka. Sepintas kulihat mata perempuan yang ingin kuselamatkan itu berkilat basah menatap kepergianku.

Beberapa hari kemudian aku berusaha mendapatkan uang sebanyak itu untuk menebus dia. Aku berusaha meminjam kepada kawan-kawanku. Namun usaha kerasku hanya berbuah kesia-siaan. Aku hanya bisa mengumpulkan Rp 2 juta. Aku kembali ke tempat itu dan mencoba tawar-menawar dengan si germo gembrot, tapi sia-sia belaka. Si gembrot tetap pada pendapatnya semula.

Aku merasa kecewa dengan diriku sediri. Aku tidak berdaya menyelamatkan dia. Aku tidak habis-habisnya mengutuki diriku sendiri, mengapa aku tidak berkesempatan jadi orang kaya.

Maka seperti saat ini, setiap malam aku hanya bisa menatap dia dari kegelapan malam. Sambil menahan hatiku yang hampir hangus dibakar cemburu, aku melihat dia bercengkerama dengan para tamu. Sepertinya dia bahagia dengan pekerjaan yang dijalaninya. Setiap melihat senyum dan tawanya, aku merasa bersalah sekaligus kecewa dengan diriku sendiri. Pada akhirnya aku hanya jadi pecundang.